Papan Narasi – Industri otomotif Jerman, yang telah lama menjadi tulang punggung perekonomian Eropa, kini menghadapi masa krisis yang mendalam. Transisi global menuju kendaraan listrik (Electric Vehicles atau EV) dan meningkatnya persaingan dari pabrikan Asia, terutama Tiongkok, telah menciptakan gelombang PHK yang mengkhawatirkan. Diperkirakan, lebih dari 200.000 lapangan kerja di sektor ini terancam lenyap atau sudah hilang, mencerminkan pergeseran struktural yang dramatis dalam cara mobil diproduksi.
Hilangnya ratusan ribu pekerjaan ini bukan semata-mata karena resesi, melainkan karena perubahan teknologi mendasar. Produksi mobil listrik membutuhkan lebih sedikit suku cadang dan jam kerja dibandingkan mobil bermesin pembakaran internal. Pabrik-pabrik yang selama ini berfokus pada mesin, transmisi, dan komponen terkait kini harus beradaptasi atau menghadapi penutupan. Sementara produsen berinvestasi besar-besaran untuk membangun rantai pasokan EV, proses transisi ini belum cukup cepat untuk menyerap kembali semua tenaga kerja yang terdampak. Selain tantangan teknologi, industri Jerman juga menghadapi tekanan biaya energi yang tinggi pasca-konflik geopolitik.
Serta gangguan rantai pasokan global, terutama kekurangan chip semikonduktor. Faktor-faktor eksternal ini semakin memperparah kesulitan finansial perusahaan-perusahaan besar. Pemerintah Jerman dan serikat pekerja kini berada di bawah tekanan besar untuk mencari solusi, baik melalui pelatihan ulang (reskilling) bagi para pekerja yang terdampak maupun melalui insentif investasi untuk mempertahankan basis produksi di dalam negeri. Krisis ini menjadi peringatan bahwa bahkan raksasa industri sekalipun tidak imun terhadap disrupsi teknologi dan perubahan dinamika pasar global. Masa depan industri otomotif Jerman akan sangat bergantung pada seberapa cepat dan efektifnya mereka dapat bertransformasi menjadi pemimpin di era mobilitas listrik.