Papan Narasi – Larangan thrifting yang kembali ditegaskan oleh Menteri Keuangan menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat, terutama para pelaku usaha mikro dan kecil yang selama ini menggantungkan penghasilan pada penjualan pakaian bekas impor. Pemerintah menilai bahwa masuknya barang thrifting secara ilegal dapat merugikan industri tekstil lokal dan memicu persaingan tidak sehat. Selain itu, masalah higienitas serta potensi masuknya produk yang tidak memenuhi standar menjadi alasan kuat di balik pelarangan tersebut. Meski demikian, banyak pelaku UMKM merasa khawatir karena Bisnis thrifting telah menjadi sumber pendapatan utama mereka, terutama di tengah sulitnya kondisi ekonomi.
Melihat dampak yang cukup besar terhadap pelaku usaha kecil, Menteri UMKM menyatakan komitmennya untuk hadir mencari solusi agar para penjual thrifting tidak kehilangan mata pencaharian. Beliau menegaskan bahwa pemerintah memahami besarnya ketergantungan masyarakat terhadap bisnis ini dan perlu adanya jalan tengah yang tetap sesuai aturan. Beberapa opsi yang mulai dibahas antara lain pengalihan usaha kepada produk lokal, pelatihan pengembangan bisnis, hingga pendampingan akses pembiayaan agar pelaku UMKM dapat bertransisi tanpa kehilangan pendapatan.
Selain itu, pemerintah juga mendorong UMKM untuk lebih fokus pada penjualan produk baru yang berasal dari industri kecil menengah dalam negeri. Upaya ini tidak hanya membuka peluang usaha baru, tetapi juga memperkuat ekosistem industri tekstil nasional. Program pelatihan digital marketing, manajemen usaha, hingga strategi branding turut disiapkan untuk membantu pelaku UMKM bersaing di pasar yang semakin kompetitif. Dengan dukungan ini, diharapkan para pelaku thrifting bisa menemukan model bisnis baru yang tidak hanya legal tetapi juga berkelanjutan.
Sementara itu, dialog terus dilakukan antara kementerian terkait, asosiasi UMKM, dan pelaku usaha thrifting untuk merumuskan kebijakan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Pemerintah berupaya memastikan bahwa penerapan aturan berjalan dengan pertimbangan sosial dan ekonomi. Harapannya, regulasi dapat ditegakkan tanpa memutus mata pencaharian masyarakat kecil. Langkah kolaboratif ini menjadi penting agar larangan impor pakaian bekas tetap menjaga industri lokal, sekaligus memberi peluang bagi UMKM untuk bertahan dan berkembang.