Papan Narasi – Industri baja sering disebut sebagai ibu dari segala industri karena perannya yang fundamental dalam menyokong pembangunan infrastruktur, otomotif, hingga manufaktur pertahanan. Di ambang tahun 2026, industri baja nasional Indonesia tengah berada pada titik persimpangan yang krusial. Tekanan global untuk melakukan dekarbonisasi dan persaingan harga dari produk impor menuntut sektor ini untuk melakukan transisi teknologi secara radikal sekaligus memperkuat fondasi melalui kebijakan strategis yang komprehensif.
Transisi Teknologi menjadi pilar utama dalam menjaga relevansi baja domestik di pasar internasional. Saat ini, pergeseran dari metode konvensional berbasis energi fosil menuju Green Steel atau baja hijau bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan. Pengadopsian teknologi Electric Arc Furnace (EAF) yang lebih rendah emisi, serta integrasi energi terbarukan dalam proses peleburan, mulai diujicobakan oleh raksasa baja nasional.
Inovasi ini bertujuan untuk mengurangi jejak karbon secara signifikan, sejalan dengan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission. Selain itu, digitalisasi melalui penerapan Smart Manufacturing dan Artificial Intelligence (AI) dalam kontrol kualitas telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi limbah produksi, yang pada akhirnya menekan biaya per ton baja yang dihasilkan.
Namun, kecanggihan teknologi saja tidak cukup tanpa payung kebijakan strategis yang mendukung ekosistem usaha. Pemerintah Indonesia telah merumuskan peta jalan yang fokus pada perlindungan pasar domestik dan penguatan rantai pasok dari hulu ke hilir. Salah satu kebijakan yang paling krusial adalah penerapan standar SNI wajib secara ketat untuk membendung masuknya baja impor berkualitas rendah yang sering kali merusak harga pasar.
Selain itu, kebijakan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada proyek-proyek strategis nasional memastikan bahwa baja produksi lokal menjadi prioritas utama. Langkah ini tidak hanya mengamankan volume penjualan produsen domestik, tetapi juga merangsang pertumbuhan industri turunan yang lebih spesifik. Lebih jauh lagi, kebijakan strategis juga mencakup insentif fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan.
Pemberian tax holiday atau pengurangan pajak bagi pabrik yang mengimplementasikan teknologi penangkapan karbon menjadi daya tarik bagi investor untuk membawa modal dan keahlian teknis ke tanah air. Di sisi lain, diplomasi perdagangan internasional juga diperkuat untuk menghadapi hambatan tarif global, seperti kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang mulai diberlakukan oleh Uni Eropa. Dengan kesiapan teknologi di dalam negeri, baja Indonesia diharapkan tetap mampu bersaing tanpa terbebani pajak karbon yang tinggi di pasar ekspor.
Pada akhirnya, masa depan industri baja nasional bergantung pada sinergi antara kecepatan adopsi teknologi oleh pelaku usaha dan ketepatan regulasi oleh pemerintah. Transisi menuju industri yang lebih hijau dan digital akan memberikan keunggulan kompetitif jangka panjang. Dengan kebijakan yang konsisten dalam melindungi kepentingan nasional serta mendukung inovasi, Indonesia berpotensi besar untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan pembangunan dalam negeri secara mandiri, tetapi juga menjadi pemain kunci dalam rantai pasok baja hijau di tingkat global. Masa depan baja nasional adalah tentang keseimbangan antara kemajuan teknik dan ketahanan ekonomi yang berkelanjutan.